
Jakarta, channelsatu.com: Ada istilah dalam sepak bola saat berlaga dengan tim kuat, yaitu Tak Ada Yang Tak Mungkin, Bola Itu Bundar. Jadi selama 90 menit wasit belum menyatakan peluit berakhir, semua bisa terjadi dan kemenangan itu bisa saja diraih.
Ini tak lain hanya bekal untuk memotivasi sebuah tim karena kalah kelas atau kualitas, dengan maksud jangan kalah sebelum bertanding. Faktanya sebuah tim yang berkualitas pasti lah sulit untuk dikalahkan dengan tim lemah. Kalau pun sanggup hanya bisa membuat kejutan belaka untuk memenangkan sebuah pertandingan. Setelah itu semua tergantung pembinaan dan kemauan keras untuk maju.
Film Indonesia pun seperti dalam kiasan “Setali tiga uang” alias “sama saja” atau “tak ada bedanya.” Menghadapi gempuran film-film Hollywood, meskipun bertindak selaku tuan rumah tetap tak berdaya menghadapi kepungan film dari negeri Paman Sam tersebut. Kalau pun film nasional bisa meraih box office seperti film Habiebie dan Ainun atau Laskar Pelangi misalnya yang menembus angka 4 Juta penonton, menurut pengamatan channelsatu.com hanya sebatas kejutan saja.
Pasalnya euforia keberhasilan itu tak berlanjut buat film nasional untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Terbukti setelah era mati suri film nasional, peluang itu tak mampu dimanfaatkan sebaik mungkin untuk terus menciptakan film berkualitas dan memikat hati penonton untuk terus menyaksikannya. Maka tak mengherankan jika memasuki medio Juni 2015 film nasional penontonnya anjlok jauh. Bahkan menurut Eksekutif Produser Maxima Pictures, Yoenka turun hingga 90 % peminat film nasional untuk menyaksikan di bioskop.
Tepatnya dari catatan pengamat film Yan Widjaya via akun Twitter @yan_widjaya, dalam semester pertama tahun 2015 ini sudah beredar 62 judul film Indonesia. Sayangnya total penontonnya hanya 4,7 juta orang. Berarti rata-rata film hanya dapat 76.222 penonton.
Untuk tiga besar film nasional yang mencapai box office hingga medio Juni 2015 ini, total jumlah penonton 1.230.685 orang, dengan rincian sebagai berikut, 1. Film Di Balik 98, ditonton 648.947 orang, 2. Film Tarot, ditonton 329.160 orang, 3. Film Toba Dreams, ditonton 252.578 orang.
Sedang data terakhir penonton film Indonesia lain yang disebutkan filmindonesia.or.id, film Indonesia yang terakhir beredar hingga dipenghujung Juni ini, terasa lebih miris lagi.
Yaitu lima film nasional yang terakhir beredar total hanya ditonton 60.714 penonton. Dengan rincian,1. Film Pizza Man, ditonton 19.208 orang, 2. Film Ayat-Ayat Adinda, ditonton 12.588 orang, 3. Film Persembahan Terakhir ditonton 5.312 orang, 4. Film Halu ditonton 16.822 orang. 5. Film Cabe-Cabean ditonton 6.784 orang.
Anjloknya jumlah penonton film nasional menurut Yoenka disebabkan tiga faktor. Pertama secara kuantitas film nasional meningkat tapi tidak dibarengi kualitas. Dua, harus diakui film-film Hollywood belakangan ini secara kualitas bagus-bagus. Tiga, masih maraknya film bajakan yang membuat orang juga malas datang ke bioskop.
Dalam diskusi bertajuk “Produksi Film Naik, Penonton Film Turun. Kenapa?” yang diselenggarakan dalam rangka Ulang tahun IKJ ke 50 di IKJ Cikini, Jakarta, Jumat (27/6/2015) kemarin, Rudi Aniti mewakili Cineplex 21, menegaskan pihaknya akan mulai menyeleksi film nasional yang akan diputar di bioskop. Ini tak lain bertujuan untuk menjaga standar kualitas film Indonesia agar tetap diminati penonton. Namun sayang Rudi tak merinci standar seleksi yang akan dilakukannya lebih detil.
Soal tata edar bioskop memang disebut-sebut salah satu penyebab anjloknya film nasional. Pemerintah perlu kembali turun tangan untuk menata ulang aturan ideal berapa hari film nasional bisa edar untuk tahap awalnya saat diputar di bioskop. Setidaknya baik pihak bioskop dan juga pemilik film tidak sama-sama harus memikul kerugian yang besar. Ini demi film nasional tidak mengalami mati suri yang kedua.
Selain itu bioskop-bioskop alternatif seperti dijelaskan pengamat film Marselli Sumarno, harus tumbuh. Misalnya seperti yang dilakukan Dewan Kreatif Rakyat yang kini tengah menggalakan untuk membangun 1000 bioskop rakyat. Atau seperti usulan Anggie mantan mahasiswa yang sempat kuliah di Prancis, Indonesia bisa mencontohnya dengan membuat bioskop sesuai katagori keinginan penonton. Misalnya, ada bioskop film drama khusus keluarga, film pendek, film dokementer dan sebagainya.
Akan tetapi seperti yang diungkapkan Ody Mulya Hidayat Produser dari Maxima Pictures dalam diskusi siang itu, jika ingin tetap menggiring penonton datang ke bioskop harus bisa menciptakan trend baru dan konten yang memikat, yang belum dilakukan rumah produksi yang lain.
“Jika kita hanya bisa mengekor saja, ya, film yang kita buat dipastikan tidak akan ditonton,” kata Ody yang sebelum filmnya diproduksi, ia selalu melakukan riset lebih dahulu penonton dari katagori mana yang akan menyaksikan filmnya ke bioskop.
“Yang terpenting sebelum film dibuat, gagasannya harus clint dulu alias fokus dan tidak melebar kemana-mana. Jadi penonton yang menyaksikannya bisa menarik pelajaran dari sebuah tontonan yang kita buat,” timpal aktor senior, sutradara, produser dan juga kini menjabat sebagai Wakil Gubernur Jawa barat, Deddy Mizwar.
“Intinya janganlah membuat film yang ikut membodohi masyarakat tapi buatlah film yang selalu memunculkan pembelajaran baru dengan cara kreatif dan memikat,” tambah Chand Parwez, produser dari rumah produksi Starvision dalam sebuah kesempatan pada channelsatu.com. (ibra)