
Jakarta, channelsatu.com: Seperti dijelaskan Ketua Lembaga Sensor Film (LSF), Ahmad Yani Basuki pada wartawan di Jakarta, Senin (11/1/2016) kemarin, keberadaan LSF merupakan salah satu wujud komitmen pemerintah atau negara terhadap dunia perfilman, khususnya komitmen dalam melindungi masyarakat dari pengaruh negatif film dan iklan film dan juga komitmen untuk memajukan dunia perfilman Indonesia yang lebih baik dan berdaya saing.
“Saya sampaikan juga bahwa, 2016 ini, atau tepatnya 18 Maret 2016 nanti, adalah merupakan peringatan 100 tahun ‘Sensor Film.” Ini berarti sensor film di negeri kita ini sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda, zaman Jepang dan masa kemerdekaan dan terus eksis sampai saat ini. Tentunya, sesuai dengan perkembangan situasinya dan tantangan zamannya, rumusan tentang lingkup tugas, fungsi dan tanggungjawabnya juga terus berubah secara dinamis,” terang Ahmad Yani.
Untuk itu, dijelaskan Ahmad Yani, merujuk Undang-Undang nomor 33 tahun 2009 mengamanatkan sebagaimana ditegaskan dalam pasal 57-bahwa : Setiap film dan iklan film yang akan diedarkan dan/ atau dipertunjukan wajib memperoleh surat tanda lulus sensor (STLS) dari Lembaga Sensor Film.
Terkait tentang kehadiran media streaming Netflix dan media-media serupa lainnya yang telah ada sebelumnya sebagai salah satu situs yang memiliki layanan streaming video, kata Yani,” Bagi kami adalah sebuah keniscayaan. Oleh karena itu siapa pun harus siap menghadapi kehadiran media semacam ini, yang tentu akan terus berkembang di masa yang akan datang.”
Dan untuk mencari solusi persoalan ini, Yani menegasakn kalau LSF akan bekerjasama dengan Kementerian Kominfo dan Kemendikbud untuk membuat rumusan bersama menghadapi serbuan film dengan sistem digital streaming ini. “Intinya sesnosr tetap harus ada. Bahkan untuk film dan iklan film yang sudah lulus sensor untuk sesuatu media tertentu, apabila akan ditayangkan untuk media lain yang berbeda penontonnya maka juga harus disensor ulang,” ucap Ahmad Yani mengingatkan.
Lebih jauh Yani memaparkan, sesuai amanat perundang-undangan yang ada, LSF saat ini melaksanakan sensor film dengan paradigma baru, yaitu:
1. Penyensoran film dan iklan film dilakukan berdasarkan prinsip dialog dengan pemilik film dan iklan film yang disensor.
2. Dalam melaksanakan tugas sensor, LSF tidak lagi memotong langsung hasil revisi, tetapi pemotongan diserahkan kembali kepada pemilik film dan iklan film.
3. Sensor film tidak hanya menyangkut aspek klasifikasi tetapi juga menyangkut aspek-aspek moral dan nilai-nilai luhur budaya bangsa.
4. Ada keharusan bagi LSF untuk melaksanakan sosialisasi kepada masyarakat dalam rangka membangun masyarakat Sensor Mandiri.
Ditanya apakah untuk mengoptimalkan program Sensor Mandiri, LSF misalnya akan melakukan kerjasama dengan Komisi Penyiaran misalnya, mengingat ada tayangan televisi yang memutar film atau sinetron tidak lagi melihat, jam itu pas untuk anak-anak atau dewasa?
“Tentu saja melalui program Sensor Mandiri, kami akan melakukan kerjasama dengan para stakeholder terkait untuk melindungi masyarakat dari pengaruh negatif film dan iklan film sekaligus mendorong produktifitas film nasional yang lebih baik dan berdaya saing,” pungkasnya. (Ibra)